JAKARTA -- Beragam mitos beredar tentang vaksinasi. Mitos-mitos terkait vaksinasi ini membuat orang tua dan pengasuh jadi enggan mengimunisasi anak mereka, termasuk di masa pandemi virus corona.
Padahal, mitos itu tak terbukti dan terbantahkan dengan fakta mengenai vaksinasi.
Vaksinasi adalah usaha pencegahan utama dari suatu penyakit dengan cara memasukkan antigen ke dalam tubuh dengan tujuan memicu pembentukan kekebalan tubuh. Vaksinasi merupakan bentuk pencegahan paling efektif dan efisien di seluruh dunia.
Namun mitos-mitos tentang vaksinasi yang menyebar tanpa alasan itu membuat banyak anak tak mendapatkan manfaat vaksinasi. Padahal, proses vaksinasi dapat menurunkan angka kejadian penyakit, menciptakan kekebalan kelompok atau herd immunity, dan melindungi orang-orang di sekitar dari penyakit.
Berikut mitos dan fakta vaksinasi.
1. Mitos pergi vaksinasi dapat menyebabkan tertular Covid-19
Covid-19 membuat banyak orang takut untuk vaksinasi ke puskesmas, klinik, atau rumah sakit.
Pergi vaksinasi tidak langsung membuat anak tertular virus corona penyebab Covid-19. Sebab setiap layanan kesehatan saat ini sudah diwajibkan menerapkan protokol kesehatan yang ketat untuk mencegah penyebaran Covid-19. Anak tetap dapat dengan aman dibawa vaksinasi ke layanan kesehatan.
2. Mitos vaksinasi menyebabkan autisme
Sebagian orang meyakini vaksinasi dapat menyebabkan anak mengalami autisme. Namun, hal ini tak terbukti secara ilmiah.
Dokter spesialis anak Caessar Pronocitro menjelaskan mitos vaksinasi menyebabkan autisme berawal dari hoaks yang berkaitan dengan vaksin MMR atau vaksin campak, gondong, dan rubella.
"Ini berawal dari penelitian dokter bedah yang menyimpulkan vaksin menyebabkan autis. Namun, setelah diusut ternyata penelitiannya tidak valid, jumlah sampel sedikit yaitu hanya 18, sehingga kesimpulannya salah," ungkap Caessa dalam webinar RSPI, Rabu (1/7).
Faktanya, berbagai penelitian menunjukkan vaksinasi bermanfaat menurunkan angka kejadian penyakit. Misalnya penyakit polio yang berkurang 99 persen, rubella 96 persen, dan tetanus 85 persen.
3. Mitos sebagian vaksinasi tidak wajib
Ada pula anggapan orang yang menyebut sebagian vaksinasi tidak wajib diberikan kepada anak. Namun, anggapan ini keliru.
Caessar menjelaskan setiap vaksin mencegah penyakit yang berbeda-beda. Sehingga masing-masing vaksin memiliki kegunaan sendiri-sendiri.
"Namun, di Indonesia hanya terdapat sejumlah vaksin yang disubsidi oleh pemerintah sehingga lebih dikenal seperti Hepatitis B, BCG, polio, DPT kombo, dan campak. Beberapa vaksin lain tidak disubsidi," tutur Caessar.
Vaksin lain seperti PCV dapat mencegah pneumonia dan meningitis dan vaksin rotavirus dapat mencegah diare karena rotavirus.
4. Mitos anak yang batuk, pilek, minum obat tidak boleh vaksinasi
Kondisi atau gejala tertentu pada anak membuat orang tua enggan memvaksinasi anak.
Padahal, faktanya, kondisi batuk dan pilek ringan tanpa demam bukan kontra-indikasi pada vaksin. Dokter akan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu untuk memastikan anak dapat menerima vaksin.
Sedangkan sebagian besar obat-obatan, termasuk antibiotik, tidak mempengaruhi potensi vaksin. Hanya ada sejumlah pengobatan yang menekan imunitas untuk jangka waktu lama yang dapat mempengaruhi vaksin. Dokter biasanya akan menunda pemberian vaksin ini.
"Sakit ringan boleh divaksin. Konsultasikan dengan dokter dan beritahu obat yang sedang dikonsumsi," ucap Caessar.
5. Mitos vaksin tidak dapat diberikan apabila sudah terlambat dari jadwal
Banyak orang tua memutus pemberian vaksin karena terlambat atau tidak memberikan vaksin sesuai jadwal.
Namun, anggapan ini salah. Vaksin tetap boleh disusulkan karena anak belum memiliki kekebalan dari vaksin tersebut agar kekebalan tetap dapat dibentuk kemudian hari.
Sedangkan untuk pemberian vaksin yang bersifat serial, maka tidak perlu mengulang dari awal jika terlambat memberikan vaksin.
"Cukup dilanjutkan saja vaksin yang diberikan," ujar Caessar.
6. Mitos vaksin haram
Sejumlah vaksin dianggap haram karena mengandung bahan-bahan yang diharamkan dalam Islam, seperti pada kasus vaksin Measless Rubella (MR) beberapa waktu lalu.
Namun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memutuskan bahwa vaksin MR tersebut boleh digunakan karena kondisi keterpaksaan dan belum ditemukan vaksin MR yang halal. Selain itu, MUI juga melihat ada bahaya yang lebih besar jika tidak diberikan vaksin.
"Ada keterangan ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi dan belum vaksin halal," kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI KH Asrorun Ni'am Sholeh pada 2018 lalu. (CNI)
Komentar Anda :