PEKANBARU -- Kunjungan kerja Presiden RI pada kamis (24/3) ke Nusa Tenggara Timur merupakan bentuk perhatian serius pemerintah dalam penurunan angka stunting di Indonesia.
Kunjungan kerja presiden ini akan meninjau langsung kondisi masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menjadi daerah prioritas penurunan angka stunting. Berdasarkan data SSGI 2021, NTT masih memiliki 15 kabupaten berkategori “merah”.
Pengkategorian status merah tersebut berdasarkan prevalensi stuntingnya masih di atas 30 persen.
Desa Kesetnana, Kecamatan Mollo Selatan, Soe, Kabupaten Timor Tengah NTT sengaja menjadi titik tumpu kunjungan Presiden Joko Widodo mengingat desa ini termasuk desa yang beresiko stunting. Selain warga kesulitan mendapatkan akses air bersih, faktor ekonomi dan rendahnya pendidikan menjadi potensi keawaman terhadap kesehatan. Hampir sebagian besar warga Desa Kesetnana tidak memiliki jamban yang layak.
Desa Kesetnana menjadi gambaran umum 278 desa yang ada di Kabupaten Timor Tengah Selatan yang memiliki prevalensi stunting yang tinggi. NTT merupakan provinsi prioritas penanganan stunting dengan prevalensi 37,8 persen di tahun 2021, tertinggi dari angka rata-rata prevalensi stunting semua pronsi di tanah air yang mencapai 24,4 persen.
Hal ini disampaikan oleh Kepala BKKBN Dr. (H.C). dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG. (K). BKKBN merupakan badan yang ditunjuk sebagai Ketua Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting berdasarkan Perpres Nomor 72/2021. Disebutkannya percepatan penurunan pravelensi angka stunting merupakan kerja bersama semua pihak. Dibutuhkan kerjasama dalam hal ini mitra kerja termasuk masyarakat dalam memberikan kontribusi.
“Sebagai salah satu unsur pentaheliks dalam wujud kovergensi percepatan penurunan stunting, mitra kerja memiliki peran dan kontribusi bersama pemerintah. Timor Tengah dan NTT sengaja menjadi titik tumpu kunjungan Presiden Joko Widodo mengingat NTT merupakan provinsi prioritas penanganan stunting dengan prevalensi 37,8 persen di tahun 2021, tertinggi dari angka rata-rata prevalensi stunting semua pronsi di tanah air yang mencapai 24,4 persen,” jelas Hasto.
Lebih lanjut menurut Hasto, persoalan tingginya stunting di NTT bukan hanya persoalan kesehatan dan kekurangan gizi tetapi juga karena kesulitan mendapatkan akses fasilitas pelayanan kesehatan.
Faktor kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan serta pola asuh yang salah turut menyumbang tingginya angka prevalensi stunting. Langkah kongkret yang diperlukan untuk mempercepat penurunan angka stunting adalah pelibatan mitra kerja untuk memperluas jangkauan intervensi sesuai sesuai dengan kebutuhan sasaran dan potensi yang dimiliki mitra kerja.
Saat ini sudah banyak pihak yang memberikan kontribusi dalam hal upaya penurunan stunting khususnya di kabupaten timor tengan NTT, dengan melakukan langkah kolaboratif atau “Kerja Bareng” BKKBN. Seperti 1000 Days Fund, Tanoto Foundation, Nestle, Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, Danone, Dexa Grup serta Bulog.
BKKBN bersama para mitra kerja merasa optimis, target penurunan prevalensi stunting dari 48,3 persen di 2021 lalu menurun menjadi 43,01 persen di akhir 2022 serta terus melandai di angka prevalensi 36,22 persen di 2023 dan kemudian di 2024 bisa menuju di angka 29,35 persen bisa tercapai.
Rencananya kunjungan kerja Presiden Joko Widodo di Timor Tengah Selatan pada Hari Kamis (24 Maret 2022) akan meninjau secara langsung program-program yang dikerjakan BKKBN seperti pemeriksaan kesehatan calon pengantin untuk deteksi dini potensi stunting, pemeriksaan ibu hamil, penimbangan dan pengukuran tinggi balita, kunjungan ke rumah warga serta proses pembangunan program bedah rumah Masalah pembenahan sanitasi dan kelayakan rumah sehat untuk warga menjadi salah satu program percepatan penurunan dari lintas kementerian dan lembaga yang dikoordinir BKKBN. (AD)
Komentar Anda :