JAKARTA -- Anggota Komisi I DPR RI Willy Aditya menyoroti keberadaan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen di tengah kabar yang menyebutkan sejumlah aktivis yang kritis atas kebijakan pemerintah disadap menggunakan alat sadap Pegasus.
Menurutnya, UU Intelijen belum cukup detail memberikan batasan dan ketegasan ihwal syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan penyadapan.
"Dalam kerangka pertahanan dan keamanan di negara manapun pasti akan melakukan aktivitas intelijen. Karena itu, pengaturan terhadap aktivitas intelijen negara diatur di dalam UU Intelijen. Walau demikian, UU Intelijen belum cukup detail memberi batasan dan ketegasan berkenaan dengan syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan penyadapan," kata Willy kepada CNNIndonesia.com, Rabu (1/7).
Bahkan, kata dia, UU Intelijen kalah berdaya dibandingkan Google, Facebook, atau platform digital lainnya. Dengan penetrasi internet dan telepon yang semakin luas, menurutnya, penyadapan besar-besaran pada kenyataannya justru dilakukan bukan oleh negara.
"Bahkan warga dengan 'suka rela' bersedia disadap. Kalau Pegasus butuh trigger Malware, platform digital justru dengan suka rela warga menyerahkan diri untuk disadap," kata politikus Partai NasDem itu.
Willy mengatakan DPR sudah memiliki peraturan tentang Tim Pengawas Intelijen untuk mengawasi kepatutan pelaksanaan intelijen negara sejak 2014. Menurutnya, hal ini menjadi salah satu medium untuk menjaga akuntabilitas pelaksanaan fungsi intelijen negara.
Dia melanjutkan, kontroversi penggunaan Pegasus dengan menyebarkan Malware untuk melakukan penyadapan pada dasarnya dapat dibentengi dengan kesadaran warga untuk selalu awas dalam penggunaan teknologi.
Willly pun menyatakan diperlukan sebuah aturan yang tegas dari penyedia teknologi bagi para pengguna di hari mendatang mengingat teknologi akan terus berkembang dan akan semakin beragam.
"Kalau meributkan teknologinya tidak akan habis-habis. UU Intelijen pun melindungi teknologi yang digunakannya. Persoalannya adalah bagaimana hak warga negara dimajukan dan dijamin oleh UU," ucapnya.
Atas dasar itu, Willy pun mengusulkan agar segera dibuat UU Hak Privasi. Menurutnya, regulasi itu bisa menjadi cara untuk menjamin perlindungan hak privasi warga negara Indonesia.
"Ada concept dan consent data pribadi sebagai bagian hak privasi yang akan dilindungi. Ini bisa menjadi titik masuk kita untuk pengaturan lebih besar tentang UU Hak Privasi," tutur anggota DPR dari Daerah Pemilihan Jawa Timur XI tersebut.
Sebelumnya, Polri membantah menyadap sejumlah aktivis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah sekaligus mengaku tak mengekang kebebasan berpendapat.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono mengatakan bahwa selama ini institusi kepolisian selalu terbuka dalam aksi penyampaian aspirasi ataupun hal lainnya terkait demokrasi.
"Sebenarnya tidak ada [penyadapan aktivis] ya. Kami terbuka dalam demokrasi ini. Siapapun boleh menyampaikan pendapat, yang penting sesuai dengan aturan yang kita punya," kata dia kepada wartawan di Bareskrim Polri, Jakarta, Rabu (1/7).
Beberapa kalangan mengatakan salah satu alat yang digunakan adalah alat sadap Pegasus.
Salah satu tokoh aktivis HAM yang menyuarakan soal dugaan penyadapan oleh negara ini adalah Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Haris Azhar. Dia mengatakan, sangat mungkin negara terus memantau pergerakan digital pra aktivis.
"Negara punya alat canggih dan infrastruktur yang menutup celah bagi kami untuk tak terpantau," kata Haris, dikutip dari Majalah Tempo edisi Senin, 29 Juni 2020. (CNI)
Komentar Anda :