JAKARTA - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asyari mengatakan pihaknya belum mengkaji terkait pelaksanaan pilkada serentak pada 2024 mendatang. Hasyim menyatakan pihaknya masih memiliki tugas utama untuk mengevaluasi gelaran pilkada serentak 2018 dan pemilu serentak 2019.
"Yang penting evaluasi 2019 dulu, sehingga tak bisa bicara 2024. Harus dievaluasi dulu, jadi enggak boleh ngomong sembarangan seperti itu sebelum di evaluasi menyeluruh," kata Hasyim di Kantor KPU RI, Menteng, Jakarta, Selasa (23/7).
Beberapa pihak seperti Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Pemerintahan Suhajar Diantoro menilai pilkada serentak 2024 akan menjadi gelaran pilkada terbesar di dunia.
Lihat juga: Evaluasi 2019, KPU Wacanakan Pemilu Serentak Dipisah. Hasyim memperkirakan pilpres dan pileg pada tahun tersebut diprediksi akan berbarengan dengan pelaksanaan pilkada serentak di 34 provinsi hingga lebih dari 500 kabupaten/kota.
Lebih lanjut, Hasyim mengatakan pihaknya belum fokus membahas gelaran pilkada serentak 2024. KPU masih berkonsentrasi untuk menyelesaikan berbagai sengketa pemilu 2019 di Mahkamah Konsitusi saat ini.
"Pemilu 2019 saja masih berproses, masih sengketa di MK. Jadi yang bukan penyelenggara sebaiknya harusnya sabar lah, untuk kita evaluasi itu dulu.
Di sisi lain, Hasyim menyatakan KPU membuka wacana pihaknya ingin memisahkan pemilu serentak di tingkat nasional dan daerah dalam sistem pemilu mendatang. Ia menyatakan konsep keserentakan dalam pemilu di Indonesia harus disesuaikan dengan tingkat atau level pelaksanaan pemilu tersebut.
"Keserentakan itu harus dipisah antara serentak nasional dan serentak daerah, ya. Jadi yang harus bareng itu pemilu eksekutif dan legislatif sesuai tingkatan," kata Hasyim.
Lebih lanjut, Hasyim menjelaskan pemilu serentak nasional itu nantinya terdiri dari pemilihan presiden, pemilu DPR dan DPD. Sementara pemilihan serentak daerah meliputi pemilihan kepala daerah dan anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ia mengatakan pemilu serentak nasional dan daerah perlu dipisahkan agar terjadi harmonisasi antara pihak eksekutif dan legislatif.
"Karena pemilu membentuk sebuah pemerintahan. Pemerintahan itu adalah hubungan legislatif dengan eksekutif," kata dia.
Hasyim mengatakan selama ini hubungan antara para kepala daerah dengan pihak legislatif di daerahnya kerap kali terkendala. Menurutnya, hal itu terjadi karena konfigurasi politik di DPRD kerap berubah akibat proses pemilihan yang tak serentak dengan pemilihan kepala daerah.
"Coba bayangkan, Pilkada 2018 kemarin, mereka dicalonkan menggunakan apa? Berdasarkan komposisi kursi hasil pemilu 2014. Nah, tahun berikutnya 2019 sudah ada konfigurasi baru di DPRD. Bagaimana kemudian kepala daerah akan membangun relasi selama 5 tahun ke depan kalau konfigurasi politik di DPRD selalu berubah," kata dia. (CNN)
Komentar Anda :